MAKALAH
HADITS TENTANG PENDIDIK
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits
Dosen Pengampu : Nafiul Lubab,
M.S.I.

Oleh Kelompok 10 :
1. Nofita
Zaqiyaturrohmah (1710110003)
2. Siti
Chumairoh (1710110015)
3. Wilda
Yusroh (1710110022)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
TAHUN
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidik
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanakan pendidikan dengan sasaran
peserta didik.[1]
Seorang pendidik harus memiliki sifat
kepribadian yang positif. Bagaimapun alasannya sorang pendidik harus memiliki
sifat kelebihan (lebih pintar) dari anak didiknya. Karena seorang pendidik
bertugas mendidik dan mengajar anak-anak didik, serta mengantarkannya menuju
keberhasilan tujuan yang dicita-citakan yakni memiliki kepribadian yang takwa
kepada Allah. Sulit rasanya seorang pendidik mampu membawa anak didiknya menuju
keberhasilan tujuan pendidikan tersebut, jika seorang guru atau seorang
pendidik tidak terlebih dahulu memiliki sifat-sifat kepribadian tersebut
tersebut.
Seorang guru disamping keberadaannya
sebagai figure (contoh) di hadapan anak didik, dia juga harus mampu mewarnai
dan mengubah kondisi anak didik dari kondisi yang negatif menjadi yang positif
dari keadaan yang kurang menjadi lebih (dari tidak bisa menjadi bisa).[2]
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian pendidik?
2. Apa
saja syarat-syarat pendidik?
3. Apa
saja sifat-sifat pendidik?
4. Bagaimana
kontroversi tentang pendidik?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas penulis mempunyai tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian pendidik
2. Untuk
mengetahui syarat-syarat pendidik
3. Untuk
mengetahui sifat-sifat pendidik
4. Untuk
mengetahui kontroversi tentang pendidik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidik
Pada
hakikatnya, pendidik dalam pandangan islam minimal ada empat yaitu: Allah
(pendidik alam semesta), para rasul, orang tua, dan guru.[3]
Secara
etimologis, istilah pendidik dalam islam dalam konteks Islam sering disebut
dengan istilah murabbi, mu’allim atau muaddib. Menurut para ahli
bahasa kata, kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi, yang
berarti membimbing, mengurus, mengasuh, dan mendidik. Kata mu’allim merupakan
bentuk isim fa’il dari ‘allama, yu’alimu, yang biasa
diterjemahkan “mengajar” atau “mengajarkan”. Hal ini sebagaimana ditemukan
dalam firman Allah sebagai berikut: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar
orang-orang yang benar!” (QS. Al-Baqarah: 31).
Sementara
istilah muaddib berasal dari akar kata addaba, yuaddibu, yang
diartikan “mendidik”. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam sabda Rasulullah
SAW: “Addabani Rabbi fa Ahsana Ta’diibi” Allah telah mendidikku, maka ia
memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan).
Fadhil
al-Djamali mengatakan pendidik adalah orang yang mengarahkan
manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat kemanusiaannya
sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah atau potensi) yang dimilikinya. [4]
B.
Syarat-syarat
guru (pendidik)
Syarat
untuk menjadi seorang guru ditinjau dari ilmu pendidikan islam secara umum,
yaitu:
1) Beriman
dan bertakwa kepada Allah (sehat rohani)
Guru adalah teladan bagi anak
didiknya sebagaimana Rasulullah Saw menjadi teladan bagi umatnya.
2) Berilmu
Ijazah bukan semata-mata secarik
kertas, tetapi adalah suatu bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu
pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukan dalam melaksanakan suatu
pekerjaan.
3) Sehat
jasmani
Guru yang mengidap penyakit menular
akan sangat membahayakan kesehatan anak didiknya.
4) Berkelakuan
baik (Berakhlak mulia)
Jika guru memiliki akhlak mulia
dalam mendidik anak, maka anak-anak akan meniru atau mencontoh sifat guru
tersebut.
C.
Sifat-sifat
Pendidik
1. Pendidik
Bersikap Adil
a. Hadis
pertama,
عَنْ النّعْمَانِ بن بَشِيْرٍ أنَّ أبَاهُ أتَى بِهِ إلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِيْ هَذَا غُلاَمًا فَقَالَ
أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ قَالَ لَا قَالَ فَارْجِعْهُ (متفق عليه)
Kosa
Kata (Mufradat)
|
Artinya
|
وَهَبْتَ = نَحَلْتُ
|
Aku memberi suatu
pemberian yang tidak karena membalas budi. An-Nahl juga bisa diartikan madu,
kemudian diartikan memberi karena pemberian itu manis seperti madu.
|
غُلاَمًا
|
Budak,
pembantu, atau pelayan.
|
وَلَدِكَ
|
Anakmu,
kata Walad mencakup laki-laki dan perempuan.
|
فَارْجِعْهُ
|
Maka
kembalikanlah dia atau minta kembali
|
عَلَى
جَوْرٍ
|
Atas
kezaliman
|
1)
Terjemahan
Dari
Nu’man bin Basyir r.a. Bahwa ayahnya datang membawanya kepada Rasulullah SAW
dan berkata: “Sesungguhnya saya telah memberikan seorang budak (pembantu)
kepada anakku ini.” Maka Rasulullah SAW bertanya: “Apakah semua anakmu kamu
beri budak seperti ini? Ayah menjawab:”Tidak”. Rasulullah SAW lantas bersabda:
“Tariklah kembali pemberianmu itu.” (HR. Muttafaq Alayh). [5]
2)
Penjelasan
Asbab Wurud al-Hadis ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Nu’man bin al-Basyir
berkata: “Ayahku bersedekah sebagian hartanya kepadaku”. Lantas ibuku Amrah
binti Rawahah berkata: “Aku tidak rela sehingga engkau persaksikan sedekah ini
kepada Rasulullah SAW. Maka berangkatlah ayahku menghadap Rasulallah SAWuntuk
mempersaksikannya tentang sedekah kepadaku. Kemudian Rasul bertanya: “Apakah
kamu lakukan seperti ini terhadap semua anakmu?” Dan seterusnya sebagaimana
Hadis diatas.
Hadis
diatas menjelaskan pengajaran Nabi terhadap seorang bapak agar bertindak
seadil-adilnya terhadap anak-anaknya. Seorang bapak di dalam rumah tangganya
sebagai pendidik terhadap keluarganya harus bersikap adil baik dalam sikap,
ucapan, dan segala tindakan. Karena sikap adil ini mempunyai pengaruh yang
besar dalam pembinaan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Tindakan adil dari
orang tua atau dari sorang pendidik merupakan pendidikan terhadap anak-anaknya.
Dalam
Hadis diriwayatkan bahwa Bapak Nu’man yang bernama Basyir pernah membawa
anaknya yakni Nu’am datang menghadap Rasulullah SAW mohon dipersaksikan, bahwa
ia memberi anaknya seorang pembantu rumah tangga. Dalam kitab Riyadhus Sholihin
ada beberapa periwayatan yang sama dengan hadis diatas sebagai berikut:
وَفِيْ رِوَايَة: فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قالَ
اتَّقَوا اللهَ وَاعْدِلُو فِيْ أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ
الصَّدَقَةَ
Dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullah SAW
bertanya: “Apakah kamu berbuat seperti itu kepada semua anakkmu?” Ayah
menjawab: “Tidak”. Beliau bersabda: “Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah
kepada anak-anakmu”. Kemudian ayahku kembali pulang dan menarik kembali
pemberian itu.”
3)
Pelajaran yang dapat dipetik dari Hadis adalah:
a. Seorang pendidik baik guru maupun orang tua harus
bersikap adil terhadap anak-anaknya dalam segala hal yang baik dalam sikap
pelayanan dan penilaian.
b. Dalam masalah hibah terhadap anak harus dilakukan
secara merata dan sama atau tidak semua.
c. Anak berhak menerima keadilan, tetapi makna keadilan
yang sesungguhnya tidak selalu diartikan sama.
d. Kesungguhan para sahabat pada ilmu atau hukum islam
ketika menghadapi suatu persoalan selalu bertanya kepada Nabi atau dipersaksikan
kepadanya.
2.
Pendidik harus Pengasih dan Adil
b.
Hadis kedua
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّهَا قَالَتْ جَاءَتْنِيْ مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ
تَمَرَاتٍ فَأعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا
تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرَةً لِتَأكُلُهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا
فَشَقَّتْ التَّمْرَةِ الَّتِي كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأكُلُهَا بَيْنَهُمَا فَأَعْجَبَنِي
شَأَنُهَا فَذَكَرْتُ الّذِيْ صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَليْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنّ اللهِ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا
مِنْ النَّارِ
Kosa
Kata (Mufradat)
|
Artinya
|
مِسْكِيْنَةٌ
|
Wanita miskin (peminta atau
pengemis)
|
فَأَطْعَمْتُهَا
|
Maka aku beri makanan dia
|
إِلَى فِيْهَا
|
Ke mulutnya, kata في asalnya فم berarti
mulut
|
فَاسْتَطْعَمَتْهَ
|
Maka dia minta makan akan dia
|
فَشَقَّتْ التَّمْرَةِ
|
Maka ia membelah, memotong,
memotek kurma itu
|
فَأَعْجَبَنِي شَأَنُهَا
|
Maka kondisinya mengherankan aku
|
أَوْجَبَ لَهَا
|
Wajib baginya, berhak baginya
|
أَعْتَقَهَا
|
Memerdekakannya
|
1) Terjemahan
Dari Aisyah r.a
berkata: “ada seorang perempuan miskin datang kepadaku dengan membawa kedua
anak perempuannya ,maka saya berikan kepadanya tiga butir biji kurma. Ia
memberikan kepada masing-masing anaknya sebutir biji kurma dan yang sebutir
lagi sudah ia angkat ke mulutnya untuk di makan ,tetapi (tiba-tiba) diminta
oleh kedua anaknya juga, ia lalu membelah biji kurma yang akan di makannya itu
dan di bagi kepada kedua anaknya itu. Saya sangat kagum melihat perilaku orang
perempuan itu. Kemudian saya ceritakan kepada Rosulullah SAW, peristiwa yang
dilakukan wanita itu, beliau lantas bersabda :”Sesungguhnya Allah telah
menentukan surge baginya atau ia dibebaskan oleh api neraka lantaran
perbuatannya itu.”(HR.Muslim)
2) Penjelasan (Syarah Hadist)
Hadist di atas
menjelaskan adanya seorang wanita miskin bersama dua orang anak wanitanya
datang kepada Aisyah minta sedekah makanan.Wanita tersebut dikasih tiga butir
kurma.Tentunya sesuai dengan kondisi Aisyah pada saat itu adanya kurma yang
terbatas disamping sesuai dengan jumlah orang yakni seorang ibu dan dua orang anak
wanita. Kondisi Aisyah biasa-biasa saja. Sebagian riwayat menyatakan kalau pagi
hari tidak ada makanan apa-apa di rumah nabi berpuasa. Tiga butir kurma itu di
serahkan langsung ke tangan seorang ibu.
Tiga butir kurma itu di bagikan
secara adil oleh ibundanya masing-masing anak satu butir kurma dan yang satu
butir kurma dan yang satu butir lagi untuk ibunya. Begitu kedua anak mendapat
makanan langsung dimakan dengan lahapnya. Adapun ibundanya makan belakangan,
baru mengangkat tangan kanannya kearah mulut untuk memakannya ,belum sampai di
makan kedua anak tersebut minta makan lagi kepada ibunya,karena sebutir kurma
di rasa belum mengenyangkan. Hati seorang ibu yang penuh kasih sayang terhadap
anaknya dengan merelakan dirinya kelaparan agar anaknya bisa memakar sebutir
kurma.Pada kasus kedua datang seorang wanita peminta kerumah ali syah di rumah
tidak ada apa-apa melainkan sebutir kurma .pernyataan Aisyah.
فَلَمْ تَجِدْ
عِنْدِيْ شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ
“Aku
tidak mendapatkan sesuatu di sisiku melainkan sebutir kurma”
Sungguh keadaaan ini menunjukkan kesederhanaan hidup
Nabi SAW. Sekalipun beliu seorang Nabi dan rosul,tetapi kehidupannya tidak
mewah. Sekalipun demikian sebutir kurma ini di sedekahkan kepada peminta. Ibu
peminta ini membawa dua orang anak wanitaay. Ia berjalan dari rumah ke rumah
untuk mencari sesuap makanan . setelah mendapatkan kurma, kurma itu di belah
menjadi dua bagian dan merelakan diri sendirinya kelaparan. Sifat mereka adalah
orang-orang mukmin yang memberi sedekah secara sukarela dan tidak memperoleh
sedekah melainkan sekedar kesanggupannya.QS. at-taubah(9):79
Ada beberapa catatan yang dapat di tarik dari dua
hadist di atas:
a. Ada
dua orang yang memiliki sikap keadilan dan kasih sayang yaitu Aisyah terhadap
seorang ibu bersama dua orang anaknya
b. Antusias
aisyah dalah bersedekah.
c. Islam
memberi motivasi pahala besar bagi yang mencintai ,menyayangi dan memperhatikan
pendidikan anak-anak wanita pada saat manusia membencinya yakni pada masa
jahiliyyah.
Kasih sayang seorang guru dalam pembelajaran sama
dengan kasih sayang seorang tua terhadap anaknya dalam rumah tangga, sebab guru
di sekolah bagaikan orang tua terhadap anaknya sendiri,. Bedanya orang tua
mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan, sedangkan guru mempunyai tanggung
jawab dalam pendidikan.
Dalam Hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا
أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطِ
فَلاَ يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا وَلَا يَسْتَطِبْ بِيَمِيْنِهِ
وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالرَّمَّةِ
(أخرجه ابو داود في الطهارة)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya aku terhadap kamu berkedudukan sebagai orang tua
(terhadap anak kandungnya). Jika salah seorang diantara kamu mendatangi buang
air besar, janganlah menghadap kiblat dan jangan membelakanginya dan jangan
bersuci dengan tangan kanan. Beliau perintah bersuci dengan tiga batu dengan
melarang dengan kotoran dan tulang.” (HR. Abu Dawud dalam bab al-Thaharah)
Al abrasyiy dalam kitab at-tarbiyah al-islamiyyah
wa falsafatuha memaparkan kasih sayang Umar terhadapat anak-anak. Suatu
ketika ada salah seorang pegawai umarbertamu masuk ke rumahnya. Melihat Umar
sedang tiduran telentang sedang anak-anaknya bermain di sekitarnya. Seorang
pegawai tersebut tidak suka melihat anak-anak yang bermain itu. Lantas Umar bertanya
kepadanya “bagaimana anda bersama keluarga anda di rumah?” ia menjawab : kalau
aku masuk semua diam”. Umar marah seraya;”pergilah dari pekerjaan Anda,
sesungguhnya anda tidak ada rasa kasih sayang terhadap anak istri anda bagaimana anda kan bisa sayang terhadap
umat Muhammad SAW?”
Umar bin khattab memberi pelajaran kepada kita bahwa
orang tua dan pendidik perlu mempunyai sifat kasih sayang terhadap anak-anak
keluarga dan anak didiknya,bergaul yang ,menyenangkan sehingga anak-anak
terdidik dengan baik tidak penakut dan tidak minder menghadapi orang lain.
3) Pelajaran yang dapat dipetik dari Hadits:
a. Hadits
menunjukkan sifat kasih sayang dan keadilan seorang pendidik yakni seorang ibu
terhadap anak-anaknya,
b. Diantara
kasih sayang ibu adalah kerelaan seorang ibu yang membagikan sebutir kurma
untuk anaknya berdua sekalipun dirinya tidak kebagian kurma.
c. Sifat
keadilan pendidik seorang ibu terhadap anaknya berdua adalah membagikan kurma
yang sama satu ditambah setengah kepada masing-masing anak.
d. Diantara
kasih saying seorang guru terhadap murid-muridnya adalah mengajarkan etika dan
hal-hal yang penting dalam tatanan hidup di dunia dan akhirat.
e. Islam
perhatian terhadap anak-anak wanita dan tidak membedakan dengan anak pria, bahkan
Islam memberi motivasi bagi siapa yang diuji mempunyai anak-anak wanita, ia
senang dan memerhatikan pendidikannya, maka merreka sebagai penghalang masuk
neraka.[6]
3. Pendidik harus menyampaikan ilmu
c. Hadis
ketiga
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الّله صَلّى الّله عَلَيْهِ
وَسَلّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِلِجَام مِنْ نَارٍ وَفِي الْبَابِ عَنْ جَابِرٍ وَعَبْدِ الّله
بْنِ عَمْرٍ وَقَالَ أَبُوْ عِيْسَى حَدِ يْثٌ حَسَنٌ (أخر جه أبو داود والترمذي)
Kosakata
(Mufradat)
|
Artinya
|
سُئِلَ
|
Ditanya
oleh seseorang yang sangat memerlukan ilmu
|
كَتَمَهُ
|
Menyembunyikan
ilmu
|
أُلْجِمَ
|
Dikendalikan
dengan tali seperti kuda
|
1) Terjemahan
Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Barang siapa yang ditanya sesuatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya,
maka ia nanti pada hari kiamat dikendalikan dengan tali kendali dari api
neraka.” (HR. Abu Daud dan Al-Taurmudzi).
2) Penjelasan
Di antara sifat guru yang baik adalah
menyebarluaskan ilmu baik melalui pengajaran, pembelajaran, menulis buku, internet,
dan lain-lain. Ilmu hendaknya digunakan oleh semua umat manusia secara luas,
agar manfaatnya lebih luas dan masyarakat mendapat pancaran sinarnya ilmu.
Kewajiban seorang alim adalah menyampaikan ilmu kepada orang lain di samping
mengamalkannya untuk diri sendiri. Dalam Hadis Rasulullah SAW disebutkan: Dari
Abdillah bin ‘Amr bahwa Nabi SAW bersabda: “Sampaikan daripadaku walaupun satu
ayat dan berikanlah tentang Bani Israil dan tidak ada dosa. Barang siapa yang
mendustakan atas nama aku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah tempat
tinggalnya dalam neraka.” (HR. Bukhari).
Maksud sampaikanlah ilmu atau pelajaran dari Nabi
SAW walaupun sedikit sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau sesuai ilmu
yang diketahuinya. Menyampaikan ilmu itu wajib dan menyimpannya perbuatan dosa
yang disebut dengan katim al-‘ilmi.
Sifat guru yang baik adalah terbuka, transparan dan
pemurah tidak pelit dalam ilmu agama bagi siapa saja yang memerlukannya. Ilmu
yang diajarkan dan diberikan kepada orang lain justru manfaatnya akan lebih
banyak, ilmu itu bertambah dan tidak akan habis. Berbeda dengan harta kekayaan
jika dibagi-bagikan kepada orang lain justru habis.
Konsep keberhasilan dalam pendidikan ada dua: pertama
ketekunan belajar dengan siapa saja walaupun dengan orang yang lebih muda dan
tidak ada rasa gengsi atau malu. Kedua, pemurah dalam memberi pelajaran
atau mengajar kepada orang lain. Keduanya merupakan kewajiban, yakni kewajiban
belajar bagi yang belum tahu suatu ilmu dan kewajiban mengajar bagi orang yang
telah memiliki ilmu.
3)
Pelajaran yang dapat dipetik dari Hadis adalah:
a.
Kewajiban guru atau orang alim menyampaikan ilmu kepada orang lain yang
membutuhkan penjelasannya terutama anak-anak muridnya.
b.
Larangan menyembunyikan ilmu syara’ yang dibutuhkan orang lain.
c.
Sifat guru yang
baik adalah terbuka, transparan dan pemurah dalam ilmu yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
d.
Ancaman
penyimpan ilmu adalah diikat mulutnya dengan api neraka, karena mulutnya
bungkam tidak menjawab kebenaran.[7]
D. Kontroversi Berjabat Tangan Dengan Ibu Guru
1. Deskripsi Masalah
Hampir setiap
lembaga pendidikan (utamanya pendidikan umum) dapat dipastikan memiliki tenaga
pengajar wanita. Nmaun, para murid yang sudah dewasa seringkali berjabat tangan
dengan guru wanita itu.
2. Pertanyaan
Bagaimana hukum orang baligh
berjabat tangan dengan guru wanita dengan alasan memuliakan?
3. Jawaban
Tetap tidak di perbolehkan (haram).
Sedangkan memuliakan tidak bisa dijadikan alasan untuk memperbolehkannnya.
Solusinya adalah dengan memakai kaos tangan atau sejenisnya, dengan syarat
harus tidak syahwat.[8]
4. Rujukan
اَلْجَوَابُ أَنَّ ذَالِكَ إِذَا كَانَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ
حَرُمَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ اسْتِثْنَاءِ, فَإِنْ كَانَ بِحَائِلٍ جَازَا مَالَمْ
يَثِرْ شَهْوَةً. والله تعالى اعلم.اه (قرة العين بفتاوى شيخ اسماعيل عثمان الزين,
229
وَلَيْسَ مِنَ الضَّرُوْرَةِ شُيُوْعُ الْعُرْفِ بِمُصَا
حَفَةِ النِّسَاءِ كَمَا قَدْ يَتَوَهَّمُ النَّاسِ. فَلَيْسَ لِلْعُرْفِ سُلْطَانٌ
فِيْ تَغْيِيْرِ الأحْكَامِ الثَّابِتَةِ بِالْكِتَبِ أَوِ الْسُنّةَ ِإِلَّا حُكْمٌ
كَانَ قِيَا مُهُ مِنْ أَصْلِهِ بِنَاءً عَلَى عُرْفٍ شَائِعٍ, فَإِنْ تُبَدَّلُ ذَالِكَ
الْعُرْفِ مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يُؤَثَّرَ فِيْ تَغْيِيْرِ ذَالِكَ الْحُكْمِ, إِذْ
هُوَ فِيْ أَصْلِهِ شَرْطِيٌّ مَرْهُوْنٌ
بِحَالَةٍ مُعَيِّنٍ, وَلَيْسَ مَوْضُوْعُ البَحْثِ مِنْ هَذَا فِيْ شَيْئٍ. اه
(فقه السيرة, 383
BAB
III
PENUTUP
- Simpulan
1. Pendidik
adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga
terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah atau
potensi) yang dimilikinya.
2. Syarat
untuk menjadi seorang guru ditinjau dari ilmu pendidikan islam secara umum,
yaitu:Beriman dan bertakwa kepada Allah (sehat rohani), Berilmu, Sehat jasmani,
Berkelakuan baik (Berakhlak mulia).
3. Sifat-sifat
Pendidik: Pendidik Bersikap Adil, Pendidik harus Pengasih dan Adil, Pendidik
harus menyampaikan ilmu.
4. Hukum
orang baligh berjabat tangan dengan guru wanita dengan alasan memuliakan,
hukumnya tetap tidak di perbolehkan (haram). Sedangkan memuliakan tidak bisa
dijadikan alasan untuk memperbolehkannnya
DAFTAR
PUSTAKA
A. Nawawi, 1432H, Santri Salaf Menjawab,
Sidogiri: Pustaka Sidogiri Pondok
Pesantren Sidogiri.
Abdul Majid Khon, 2012, Hadis Tarbawi, Jakarta,
Prenadamedia group.
Heri Gunawan, 2014, Pendidikan
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mukroji, 2014, Hakikat
Pendidik Dalam Agama Islam, Jurnal Kependidikan, Vol.II,No. 2, diakses
dari Http://media.neliti.com pada tanggal 01 Mei 2018.
Umar Tirtahardja &
La Sulo, 2015, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta.
[1] Umar Tirtahardja & La Sulo,
2015, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta. Hlm. 54
[2] Abdul Majid Khon, 2015, Hadis
Tarbawi, Jakarta: Prenadamedia Group. Hlm. 65
[3] Mukroji, 2014, Hakikat Pendidik
Dalam Agama Islam, Jurnal Kependidikan, Vol.II,No. 2, hlm. 17
[4] Heri Gunawan, 2014, Pendidikan
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 163
[5] Op Cit, hlm. 67
[6] Op Cit, hlm. 80
[7] Op Cit, 89
[8] A. Nawawi, 1432H, Santri
Salaf Menjawab, Sidogiri: Pustaka Sidogiri
Pondok Pesantren Sidogiri. Hlm: 966
Tidak ada komentar:
Posting Komentar