Senin, 03 Desember 2018

Filsafat Perspektif Al-Ghozali



PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI
MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Aat Hidayat, M.Pd.I

Oleh Kelompok 9:

1.      Nofita Zaqiyaturrohmah                (1710110003)
2.      Khoiril Anwar                                (1710110017)
3.      Laifatul Ishmah                              (1710110034)



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
2018































BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
Al-Ghazali merupakan sosok manusia yang mempunyai predikat segudang ilmu, Tidak hanya satu ilmu yang beliau kuasai. Mulai dari ilmu tasawuf, ilmu ketuhanan, ilmu alam, ilmu logika, dan masih banyak lagi. Meskipun beliau dikenal dengan sufi yang identik dengan masalah hati saja, akan tetapi beliau juga menganggap masalah pendidikan itu sangatlah penting. Karena pendidikan itulah yang akan membawa manusia ke jalan yang baik atau buruk.
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya membentuk insan yang cerdas, tetapi juga berkepribadian atau berkarakter. Sehingga dapat melahirkan generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa. Bicara soal pendidikan karakter maka tidak seharusnya kita meninggalkan tokoh muslim salah satunya seperti imam Al-Ghazali. Pada bab ini kita akan membahas tentang pemikiran Al-Ghazali yang kontribusinya sangat banyak dalam pengembangan hasanah pendidikan Islam.
   B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana riwayat hidup al-Ghazali?
2.      Bagaimana pemikiran pendidikan al-Ghazali?
3.      Bagaimana implikasinya bagi pendidikan Islam? 
   C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui riwayat hidup al- Ghazali
2.      Untuk mengetahui pemikiran pendidikan al-Ghazali
3.      Untuk mengetahui implikasinya bagi pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Riwayat Hidup Al-Ghazali
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali), lahir di Thus (wilayah Khurasan) pada tahun 450 H/ 1058 M. Al-Ghazali memliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Ia menyusun beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (ihya ‘ulum al-din) pada dasarnya buku-buku yang dikarangnya merupakan upayanya untuk membersihkan hati umat islam dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik islam maupun barat (orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan-serangan yang demikian, maka ia diberi gelar Hujjat al-islam.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Karenanya, tidak heran jika sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani. Dan untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar dengan Imam al-Juwaini. Dengan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa al-Juwaini memberinya gelar bahrum mughriq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia tahun 478 H/1085 M. dari Naisabur, al-Ghazali menuju Baghdad dan menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah yang didirikan perdana menteri Nizham al-Mulk. Di tengah-tengah kesibukannya di Madrasah Nizhamiyah, ternyata ia tidak melupakan dunia jurnalistik. Kreativitasnya di dunia jurnalistik dibuktikannya dengan sejumlah buku, seperti al-Basith, al-Wajiz, al-Munqil fi ‘Ilm al-Jadal, Ma’khaz al-Kalaf, Lubab al-Nadzar, Khulashah ‘Ilm al-Fiqh, Tahsin al-Ma’akhidz, dan Mamadi’ wa al-Ghayat fi Fan al-Khalaf.
Setelah mengajar di berbagai tempat seperti Baghdad, Syam, dan Naisaburi akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya, Thus pada tahun 1105 M. Disini, ia kemudian mendirikan sebuah madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik hingga ia wafat pada tahun 1111 M.[1]
   B.     Pemikiran Pendidikan al-Ghazali
Hal yang paling mendasar dikemukakan oleh Al-Ghozali yaitu merealisasikan kebahagiaan manusia. Maksudnya, kebahagiaan yang bersifat akhirat yakni kebahagiaan yang tidak akan pernah sirna. Untuk mencapai kebahagiaan itu, seseorang harus memiliki kesamaan ilmu dan amal dalam perilaku sehari-hari. Al-Ghozali mengemukakan”Betapa banyak para pencari ilmu (pelajar) yang akhlaknya buruk, menghasilkan ilmu yang dapat menjauhkan anda dari pemahaman ilmu hakikat yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan. Jika cahaya ilmu itu muncul pada hatinya, maka tentu akan menjadi baik akhlaknya”.
Dengan demikian, orang yang paham terhadap ilmu, sementara perilaku dan akhlaknya tidak berubah (menjadi baik), maka dia dipastikan tidak akan mendapatkan kebahagiaan ukrawiyah, dan juga tidak akan sampai pada karakter-karakter yang dapat membawanya pada derajat kebahagiaan. Sementara perubahan perilaku tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan belajar. Oleh karena itu, pelayanan belajar menjadi suatu pelayanan yang paling mulia. Al-Ghozali juga menjelaskan bahwa kebahagiaan ukrawiyah terkait dengan hubungan dengan masyarakat. Dengan mempersiapkan peserta didik bersungguh-sungguh dalam merealisasikan kehidupan sosial.[2]


1.      Pembagian Ilmu
 Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din membagi klasifikasi ilmu menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu syar’i dan ilmu ‘aqli. Ditinjau dari segi hukum mempelajarinya, ada dua macam, yaitu:
a.       Fardhu ‘ain yang termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu agama dan segala cabangnya, yang dimulai dari al-Qur’an kemudian ilmu ibadah dasar seperti hal-ikhwal shalat, puasa, zakat, dan sebagainya
b.      Fardhu kifayah yaitu ilmu yang diperlukan dalam rangka menegakkan urusan duniawi, misalnya ilmu kedokteran karena pentingnya ilmu itu dalam pemeliharaan kesehatan.[3]
Al-Ghazali menjelaskan dua cara memperoleh ilmu, yaitu: cara pengilhaman dari Tuhan dan cara belajar. Kemudian, Al-Ghazali membagi metode perolehan ilmu menjadi dua, yaitu metode pengajaran manusia yaitu metode yang biasanya dilakukan di sekolah formal dan non formal,yang mengandalkan komunikasi interpersonal dan interaksi sosial, dan metode pengajaran dari Tuhan yaitu melibatkan komunikasi manusia dengan Allah.[4]
Al-Ghazali menulis masalah pendidikan dalam sejumlah karyanya,diantaranya ditemukan dalam kitab Fatihah Al-Ulum, kitab Ayyuha Al walad, dan ihya’ Ulum Ad-din, yang dipandang sebagai kitab terbesar dalam berbagai ilmu. Dalam kitabnya Ihya’ Ulum Ad-din juz 1, Al-Ghazali memulai tulisannya tentang keutamaan Ilmu dan pendidikan, dalam Ihya’ Ulum Ad-din misalnya, ia memaparkan sebagai berikut:
“Makhluk yang paling mulia di bumi adalah jenis manusia, dan bagian yang paling mulia diantara subtansi manusia itu adalah hatinya. Sedangkan guru adalah orang yang berusaha menyempurnakan, meningkatkan, menyucikan, dan membimbing hati itu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh Karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dari segi lain termasuk ibadah kepada Allah SWT. Dan dari segi lain termasuk tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, dikatakan khalifah Allah SWT karena Allah telah membuka hati seseorang alim dengan ilmu, yang justru ilmu itu menjadi identitasnya. Oleh karena itu, bagaikan bendahara bagi personalia-personalia di dalam khazanah Tuhan”.
Dalam pandangan Al-Ghazali, pendidikan ada pada hati, sebab hati merupakan esensi manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya. Sehingga konsep pendidikan lebih terarah pada pembentukan akhlak yang mulia. Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan, meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jadi, peranan guru sangatlah besar, bukan hanya mengajar, mentransfer ilmu, melainkan yang lebih penting adalah “mendidik”.[5]
Pemikiran Al-Ghazali tentang pentingnya pendidikan berkaitan dengan lima aspek, yaitu:
a.       Pendidikan dalam aspek kerohanian atau keimanan
b.      Pendidikan dalam aspek perilaku atau akhlak
c.       Pendidikan dalam aspek pengembangan akal dan kecerdasan
d.      Pendidikan dalam aspek sosial
e.       Pendidikan dalam aspek biologis manusia kejasmaniahan.[6]
2.      Tujuan Pendidikan
Secara sistematis, totalitas pandangannya meliputi hakikat tujuan pendidikan, pendidik peserta didik, materi, dan metode pendidikan. Pemikirannya tentang tujuan pendidikan islam yaitu:
a.       Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah
b.      Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah
c.       Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[7]
3.      Pendidik dan Peserta didik
Menurutnya, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya. Seorang pendidik di tuntut untuk memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Dintaranya yaitu:
a.       Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid
b.      Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif)
c.       Duduk dengan sopan, tidak riya’ atau pamer
d.      Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya
e.       Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah
f.       Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan
g.      Memiliki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya
h.      Menyantuni dan tidak membentak orang-orang bodoh
i.        Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya
j.        Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang anda persoalkan
k.      Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.[8]
Pada hakikatnya jabatan guru menurut al-Ghazali merupakan jabatan yang paling mulia, bahkan dikategorikan atau disejajarkan dalam barisan para nabi dalam hal membawa misi untuk mengajarkan ilmu kepada manusia dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, yakni mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Persyaratan yang diperlukan untuk menjadi guru itu adalah kepribadian yang layak dan mampu menjalankan tugas. Dengan kata lain, seorang guru selain berilmu, harus dapat dijadikan contoh yang baik (uswah al-hasanah).[9]
Peserta didik menurut al-Ghazali adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah. Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya. Menurut al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
a.       Mendahulukan kesucian jiwa
b.      Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
c.       Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru
d.      Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Dalam belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq al-karimah (Q.S. Al An’aam/ 6:162; Adz Dzaariyaat/ 51:56)
b.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S. Adh Dhuhaa/ 93:4)
c.       Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan
d.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
e.       Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi
f.       Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah (Q.S. Al Fath/ 48:9)
g.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam
h.      Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
i.        Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi
j.        Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.[10]
4.      Materi Pendidikan
Adapun mengenai materi pendidikan al-Ghazali berpendapat bahwa al-Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini, al-Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu: pertama, ilmu syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, ilmu ghairu syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim. Sementara bila dilihat dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi dua, yaitu: ilmu yang terpuji (mahmudah) damn ilmu yang tercela (mazmumah). Menurut al-Ghazali ilmu yang terpuji wajib dicari dan dipelajari, sedangkan ilmu yang tercela wajib dihindari oleh setiap peserta didik.[11]
5.      Metode Mengajar
Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, seorang pendidik hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai, atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelaksanaannya, semua metode pendidikan yang memiliki relevansi terhadap upaya pendidikan hendaknya dapat dipergunakan pendidikan dalam proses belajar mengajar. Penggunaan setiap metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, kecerdasan, bakat, dan fitrahnya. [12]
   C.    Implikasi bagi Pendidikan Islam
Pendidikan islam mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pengembangan fitrah manusia. Imam Al-Ghozali memiliki konsep pendidikan yang mencakup berbagai aspek yaitu spiritual, moral, sosial, kognitif, dan fisik. Tujuan pendidikannya pun diseimbangkan antara dunia dan akhirat. Dalam kitab Ihya Ulum Ad-din Al-Ghozali lebih menekankan pada pendidikan akhlak seperti penghormatan terhadap guru, pendekatan kasih saya ng terhadap murid, dan masalah tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak. Adapun materi, metode yang diberikan peserta didik itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat usia peserta didik, kecerdasan, bakat, dan fitrahnya.
Implikasi pemikiran Al-Ghozali yang ada pada Indonesia yaitu menekankan mata pelajaran dengan metode menghafal di tingkat dasar dan metode memahami di tingkat lanjut. Selanjutnya menekankan praktek, terutama praktek ibadah sebagai pemenuhan aspek psikomotorik. Yang terakhir yaitu menekankan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari, melalui pemahaman akhlak, tasawuf, guna memenuhi aspek afektif pendidikan.


BAB III
PENUTUP
Simpulan
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali), lahir di Thus (wilayah Khurasan) pada tahun 450 H/ 1058 M. Al-Ghazali memliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Di Thus pada tahun 1105 M ia mendirikan sebuah madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik hingga ia wafat pada tahun 1111 M.
Dalam pandangan Al-Ghazali, pendidikan ada pada hati, sebab hati merupakan esensi manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya. Sehingga konsep pendidikan lebih terarah pada pembentukan akhlak yang mulia. Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan, meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun implikasi pemikiran Al-Ghozali yang ada pada Indonesia yaitu menekankan mata pelajaran dengan metode menghafal di tingkat dasar dan metode memahami di tingkat lanjut. Selanjutnya menekankan praktek, terutama praktek ibadah sebagai pemenuhan aspek psikomotorik. Yang terakhir yaitu menekankan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehali-hari, melalui pemahaman akhlak, tasawuf, guna memenuhi aspek afektif pendidikan.






DAFTAR PUSTAKA

Basri Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2014.
Gunawan Heri, Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Intermasa, Jakarta, 2002.



[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Imtermasa, Jakarta, 2002, hlm: 85-87
[2] Heri Guanwan, Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm: 324-325
[3] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2011, hlm: 252
[4] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2014, hlm: 224
[5] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2011, hlm: 244-245
[6] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2014, hlm: 228
[7] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm: 87
[8] Ibid, hlm: 88
[9] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm: 253
[10] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam hlm: 89-90
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm: 90
[12] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm: 90-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar