PENDIDIKAN
ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI
MAKALAH
Disusun guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Aat Hidayat, M.Pd.I
Oleh Kelompok 9:
1. Nofita Zaqiyaturrohmah (1710110003)
2. Khoiril Anwar (1710110017)
3. Laifatul Ishmah (1710110034)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Ghazali merupakan sosok manusia yang mempunyai predikat segudang
ilmu, Tidak hanya satu ilmu yang beliau kuasai. Mulai dari ilmu tasawuf, ilmu
ketuhanan, ilmu alam, ilmu logika, dan masih banyak lagi. Meskipun beliau dikenal
dengan sufi yang identik dengan masalah hati saja, akan tetapi beliau juga
menganggap masalah pendidikan itu sangatlah penting. Karena pendidikan itulah
yang akan membawa manusia ke jalan yang baik atau buruk.
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya membentuk insan yang
cerdas, tetapi juga berkepribadian atau berkarakter. Sehingga dapat melahirkan
generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa. Bicara soal pendidikan karakter maka tidak seharusnya
kita meninggalkan tokoh muslim salah satunya seperti imam Al-Ghazali. Pada bab
ini kita akan membahas tentang pemikiran Al-Ghazali yang kontribusinya sangat
banyak dalam pengembangan hasanah pendidikan Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
riwayat hidup al-Ghazali?
2.
Bagaimana
pemikiran pendidikan al-Ghazali?
3.
Bagaimana
implikasinya bagi pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah
ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui riwayat hidup al- Ghazali
2.
Untuk
mengetahui pemikiran pendidikan al-Ghazali
3.
Untuk
mengetahui implikasinya bagi pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Al-Ghazali
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (lebih dikenal dengan
sebutan al-Ghazali), lahir di Thus (wilayah Khurasan) pada tahun 450 H/ 1058 M.
Al-Ghazali memliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi,
maupun pendidik. Ia menyusun beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama (ihya ‘ulum al-din) pada dasarnya buku-buku yang
dikarangnya merupakan upayanya untuk membersihkan hati umat islam dari
kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik
islam maupun barat (orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan
melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan-serangan yang demikian, maka ia
diberi gelar Hujjat al-islam.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut
ilmu pengetahuan. Karenanya, tidak heran jika sejak masa kanak-kanak, ia telah
belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada
waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani. Dan untuk memenuhi kebutuhan
intelektualnya ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar dengan Imam
al-Juwaini. Dengan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa al-Juwaini
memberinya gelar bahrum mughriq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali
kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia tahun
478 H/1085 M. dari Naisabur, al-Ghazali menuju Baghdad dan menjadi guru besar
di Madrasah Nizhamiyah yang didirikan perdana menteri Nizham al-Mulk. Di
tengah-tengah kesibukannya di Madrasah Nizhamiyah, ternyata ia tidak melupakan
dunia jurnalistik. Kreativitasnya di dunia jurnalistik dibuktikannya dengan
sejumlah buku, seperti al-Basith, al-Wajiz, al-Munqil fi ‘Ilm al-Jadal,
Ma’khaz al-Kalaf, Lubab al-Nadzar, Khulashah ‘Ilm al-Fiqh, Tahsin al-Ma’akhidz,
dan Mamadi’ wa al-Ghayat fi Fan al-Khalaf.
Setelah mengajar di berbagai tempat
seperti Baghdad, Syam, dan Naisaburi akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya,
Thus pada tahun 1105 M. Disini, ia kemudian mendirikan sebuah madrasah dan
mengabdikan dirinya sebagai pendidik hingga ia wafat pada tahun 1111 M.[1]
B.
Pemikiran Pendidikan al-Ghazali
Hal yang paling mendasar dikemukakan oleh Al-Ghozali yaitu
merealisasikan kebahagiaan manusia. Maksudnya, kebahagiaan yang bersifat
akhirat yakni kebahagiaan yang tidak akan pernah sirna. Untuk mencapai
kebahagiaan itu, seseorang harus memiliki kesamaan ilmu dan amal dalam perilaku
sehari-hari. Al-Ghozali mengemukakan”Betapa banyak para pencari ilmu (pelajar)
yang akhlaknya buruk, menghasilkan ilmu yang dapat menjauhkan anda dari
pemahaman ilmu hakikat yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan. Jika cahaya
ilmu itu muncul pada hatinya, maka tentu akan menjadi baik akhlaknya”.
Dengan demikian, orang yang paham terhadap ilmu, sementara perilaku
dan akhlaknya tidak berubah (menjadi baik), maka dia dipastikan tidak akan
mendapatkan kebahagiaan ukrawiyah, dan juga tidak akan sampai pada
karakter-karakter yang dapat membawanya pada derajat kebahagiaan. Sementara
perubahan perilaku tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan belajar. Oleh
karena itu, pelayanan belajar menjadi suatu pelayanan yang paling mulia. Al-Ghozali
juga menjelaskan bahwa kebahagiaan ukrawiyah terkait dengan hubungan
dengan masyarakat. Dengan mempersiapkan peserta didik bersungguh-sungguh dalam
merealisasikan kehidupan sosial.[2]
1.
Pembagian Ilmu
Al-Ghazali dalam kitab Ihya
‘Ulum Ad-Din membagi klasifikasi ilmu menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu
syar’i dan ilmu ‘aqli. Ditinjau dari segi hukum mempelajarinya, ada dua macam,
yaitu:
a.
Fardhu
‘ain yang termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu agama dan segala
cabangnya, yang dimulai dari al-Qur’an kemudian ilmu ibadah dasar seperti
hal-ikhwal shalat, puasa, zakat, dan sebagainya
b.
Fardhu
kifayah yaitu ilmu yang diperlukan dalam
rangka menegakkan urusan duniawi, misalnya ilmu kedokteran karena pentingnya
ilmu itu dalam pemeliharaan kesehatan.[3]
Al-Ghazali menjelaskan dua cara memperoleh ilmu, yaitu: cara
pengilhaman dari Tuhan dan cara belajar. Kemudian, Al-Ghazali membagi metode
perolehan ilmu menjadi dua, yaitu metode pengajaran manusia yaitu metode yang biasanya
dilakukan di sekolah formal dan non formal,yang mengandalkan komunikasi interpersonal
dan interaksi sosial, dan metode pengajaran dari Tuhan yaitu melibatkan komunikasi
manusia dengan Allah.[4]
Al-Ghazali menulis masalah pendidikan dalam sejumlah
karyanya,diantaranya ditemukan dalam kitab Fatihah Al-Ulum, kitab Ayyuha Al
walad, dan ihya’ Ulum Ad-din, yang dipandang sebagai kitab terbesar dalam
berbagai ilmu. Dalam kitabnya Ihya’ Ulum Ad-din juz 1, Al-Ghazali
memulai tulisannya tentang keutamaan Ilmu dan pendidikan, dalam Ihya’ Ulum
Ad-din misalnya, ia memaparkan sebagai berikut:
“Makhluk yang paling mulia di bumi adalah jenis manusia, dan bagian
yang paling mulia diantara subtansi manusia itu adalah hatinya. Sedangkan guru
adalah orang yang berusaha menyempurnakan, meningkatkan, menyucikan, dan
membimbing hati itu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh Karena itu,
mengajarkan ilmu pengetahuan dari segi lain termasuk ibadah kepada Allah SWT.
Dan dari segi lain termasuk tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi,
dikatakan khalifah Allah SWT karena Allah telah membuka hati seseorang alim
dengan ilmu, yang justru ilmu itu menjadi identitasnya. Oleh karena itu,
bagaikan bendahara bagi personalia-personalia di dalam khazanah Tuhan”.
Dalam pandangan Al-Ghazali, pendidikan ada pada hati,
sebab hati merupakan esensi manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah
terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada
hatinya. Sehingga konsep pendidikan lebih terarah pada pembentukan akhlak yang
mulia. Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing,
mengarahkan, meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Jadi, peranan guru sangatlah besar, bukan hanya mengajar,
mentransfer ilmu, melainkan yang lebih penting adalah “mendidik”.[5]
Pemikiran Al-Ghazali tentang pentingnya pendidikan berkaitan dengan
lima aspek, yaitu:
a.
Pendidikan
dalam aspek kerohanian atau keimanan
b.
Pendidikan
dalam aspek perilaku atau akhlak
c.
Pendidikan
dalam aspek pengembangan akal dan kecerdasan
d.
Pendidikan
dalam aspek sosial
e.
Pendidikan
dalam aspek biologis manusia kejasmaniahan.[6]
2.
Tujuan Pendidikan
Secara sistematis, totalitas pandangannya meliputi hakikat tujuan pendidikan,
pendidik peserta didik, materi, dan metode pendidikan. Pemikirannya tentang
tujuan pendidikan islam yaitu:
a.
Tujuan
mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri
sebagai wujud ibadah kepada Allah
b.
Tujuan
utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah
c.
Tujuan
pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.[7]
3.
Pendidik dan Peserta didik
Menurutnya, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan
khaliqnya. Seorang pendidik di tuntut untuk memiliki beberapa sifat keutamaan
yang menjadi kepribadiannya. Dintaranya yaitu:
a.
Sabar
dalam menanggapi pertanyaan murid
b.
Senantiasa
bersifat kasih, tanpa pilih kasih (objektif)
c.
Duduk
dengan sopan, tidak riya’ atau pamer
d.
Tidak
takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya
e.
Bersikap
tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah
f.
Sikap
dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan
g.
Memiliki
sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya
h.
Menyantuni
dan tidak membentak orang-orang bodoh
i.
Membimbing
dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya
j.
Berani
berkata tidak tahu terhadap masalah yang anda persoalkan
k.
Menampilkan
hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia
merujuk kembali kepada rujukan yang benar.[8]
Pada hakikatnya jabatan guru menurut al-Ghazali merupakan jabatan
yang paling mulia, bahkan dikategorikan atau disejajarkan dalam barisan para
nabi dalam hal membawa misi untuk mengajarkan ilmu kepada manusia dalam rangka
mencapai tujuan hidupnya, yakni mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Persyaratan yang diperlukan untuk menjadi guru itu adalah kepribadian yang
layak dan mampu menjalankan tugas. Dengan kata lain, seorang guru selain
berilmu, harus dapat dijadikan contoh yang baik (uswah al-hasanah).[9]
Peserta didik menurut al-Ghazali adalah makhluk yang telah dibekali
potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah. Untuk itu tugas seorang
pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya. Menurut al-Ghazali dalam
menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu:
a.
Mendahulukan
kesucian jiwa
b.
Bersedia
merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
c.
Jangan
menyombongkan ilmunya dan menentang guru
d.
Mengetahui
kedudukan ilmu pengetahuan
Dalam belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a.
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq
al-karimah (Q.S. Al An’aam/ 6:162; Adz Dzaariyaat/ 51:56)
b.
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S. Adh Dhuhaa/ 93:4)
c.
Bersikap
tawadhu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan
d.
Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
e.
Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi
f.
Belajar
dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret)
menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu fardlu ‘ain menuju ilmu
fardlu kifayah (Q.S. Al Fath/ 48:9)
g.
Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak
didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam
h.
Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
i.
Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi
j.
Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat
bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan
hidup dunia akhirat.[10]
4.
Materi Pendidikan
Adapun mengenai materi pendidikan al-Ghazali berpendapat bahwa
al-Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat
bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan
mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini, al-Ghazali membagi ilmu pada dua
macam, yaitu: pertama, ilmu syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari
para nabi. Kedua, ilmu ghairu syar’iyyah; semua ilmu yang
berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim. Sementara bila
dilihat dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi dua, yaitu: ilmu yang terpuji (mahmudah)
damn ilmu yang tercela (mazmumah). Menurut al-Ghazali ilmu yang terpuji
wajib dicari dan dipelajari, sedangkan ilmu yang tercela wajib dihindari oleh
setiap peserta didik.[11]
5.
Metode Mengajar
Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, seorang pendidik hendaknya
memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu yang
diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai, atau dimiliki oleh peserta didik,
akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelaksanaannya, semua metode pendidikan yang memiliki
relevansi terhadap upaya pendidikan hendaknya dapat dipergunakan pendidikan
dalam proses belajar mengajar. Penggunaan setiap metode pendidikan hendaknya
diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia
peserta didik, kecerdasan, bakat, dan fitrahnya. [12]
C.
Implikasi bagi Pendidikan Islam
Pendidikan islam mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam
pengembangan fitrah manusia. Imam Al-Ghozali memiliki konsep pendidikan yang
mencakup berbagai aspek yaitu spiritual, moral, sosial, kognitif, dan fisik.
Tujuan pendidikannya pun diseimbangkan antara dunia dan akhirat. Dalam kitab Ihya
Ulum Ad-din Al-Ghozali lebih menekankan pada pendidikan akhlak seperti
penghormatan terhadap guru, pendekatan kasih saya ng terhadap murid, dan
masalah tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak. Adapun materi,
metode yang diberikan peserta didik itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat usia
peserta didik, kecerdasan, bakat, dan fitrahnya.
Implikasi pemikiran Al-Ghozali yang ada pada Indonesia yaitu
menekankan mata pelajaran dengan metode menghafal di tingkat dasar dan metode
memahami di tingkat lanjut. Selanjutnya menekankan praktek, terutama praktek
ibadah sebagai pemenuhan aspek psikomotorik. Yang terakhir yaitu menekankan
penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari,
melalui pemahaman akhlak, tasawuf, guna memenuhi aspek afektif pendidikan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali
(lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali), lahir di Thus (wilayah Khurasan)
pada tahun 450 H/ 1058 M. Al-Ghazali memliki keahlian berbagai disiplin ilmu,
baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Di Thus pada tahun 1105 M ia mendirikan
sebuah madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik hingga ia wafat pada
tahun 1111 M.
Dalam pandangan Al-Ghazali, pendidikan ada pada hati,
sebab hati merupakan esensi manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak
pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya.
Sehingga konsep pendidikan lebih terarah pada pembentukan akhlak yang mulia.
Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan,
meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun implikasi
pemikiran Al-Ghozali yang ada pada Indonesia yaitu menekankan mata pelajaran
dengan metode menghafal di tingkat dasar dan metode memahami di tingkat lanjut.
Selanjutnya menekankan praktek, terutama praktek ibadah sebagai pemenuhan aspek
psikomotorik. Yang terakhir yaitu menekankan penghayatan pelajaran dalam
kehidupan sehali-hari, melalui pemahaman akhlak, tasawuf, guna memenuhi aspek
afektif pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Basri Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung,
2014.
Gunawan Heri, Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran
Tokoh, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung,
2011.
Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Intermasa, Jakarta,
2002.
[1]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Imtermasa, Jakarta, 2002, hlm: 85-87
[2] Heri Guanwan, Pendidikan
Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2014, hlm: 324-325
[3] Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2011, hlm: 252
[4] Hasan Basri, Filsafat
Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2014, hlm: 224
[5] Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2011, hlm: 244-245
[6] Hasan Basri, Filsafat
Pendidikan Islam, Pustaka Setia ,Bandung, 2014, hlm: 228
[7] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm: 87
[8] Ibid,
hlm: 88
[9] Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, Pustaka Setia , Bandung, 2011, hlm: 253
[10] Samsul
Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam hlm: 89-90
[11] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm: 90
[12] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, hlm: 90-91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar